POTENSI BENCANA ALAM DI JATENG – DIY:TANTANGAN UNTUK PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH


Senin, 29 Maret 2004 – 17:13:44 WIB
– Untuk mewaspadai bencana alam, dapat dimulai dengan pemberian informasi potensi bencana alam yang jujur, cepat, tepat, akurat. Diharapkan dengan demikian dapat dilakukan pemilihan dan penyiapan langkah yang tepat, yaitu : mengatasi bencana, mensiasati bencana, atau menghindari bencana tersebut. Pemilihan dan penyiapan langkah tersebut dapat didekatkan ke berbagai cara, misalnya ke pola keruangan kawasan pemukiman, pola konstruksi, pola transportasi, pola informasi, dan lainnya. Kalaupun ternyata masih tertimpa bencana juga, minimal secara mental lebih siap. Karena semua bencana itu, semula memang merupakan gejala alam.

POTENSI BENCANA ALAM DI JATENG – DIY:
TANTANGAN UNTUK PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

Eko Teguh Paripurno*

Proloog
Ketika bencana akibat konflik di Aceh dan Ambon belum tuntas di selesaikan, bencana alam ikut hadir ikut “memeriahkan”. Di Bengkulu muncul gempa 7,4 Skala Richter 4 Juni 2000 lalu, yang menyebabkan ratusan korban meninggal dan luka-luka. Berikutnya, gempa di Sukabumi Rabu 12/7 200 dengan kekuatan 5,1 skala Richter dengan intensitas kerusakan III-IV MMI, menyebabkan 2.218 bangunan roboh, sehingga kerugian mencapai 2, 3 milyar rupiah. Sebelumnya, masih kental diingatan bencana-bencana besar yang terjadi. Gempa bumi di Liwa Lampung Barat, Rabu 16 Februari 1994 dengan kekuatan 6,5 Skala Richter itu, telah menghancurkan 80 % dari seluruh bangunan teknik yang ada, mengakibatkan lebih dari 200 tenduduk tewas, serta 1000 penduduk luka-luka. Selanjutnya, Jum’at 3 Juni 1994 dini hari, gelombang pasang menggulung pantai selatan Jawa Timur, dari Pacitan sampai Banyuwangi, sehingga sedikitnya 300 orang ditemukan meninggal dan puluhan kampung porak poranda. Juga peristiwa fenomental di daerah kita, letusan Gunung Merapi 22 November lalu yang membawa korban jiwa lebih dari 60 orang.
Fenomena-fenomena di atas menjadi menarik, karena sejak UU Nomor 22 Tahun 1999 (tentang pemerintahan daerah) dan UU Nomor 25 Tahun 1999 (tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah) ditetapkan, perbincangan tentang otonomi hanya terbatas mengenai memanfaatkan sumberdaya alam daerah. Sasarannya: menggenjot pendapatan asli daerah (PAD). Kebetulan kedua undang-undang tersebut lebih banyak mengatur prosedur bagi hasil sumberdaya. Pengesahan undang-undang tersebut menyebabkan para esksekutif daerah kaya ingin segera melaksanakan undang-undang itu dalam tempo sesingkat-singkatnya untuk “merdeka” dari pemerintah pusat dalam mengelola sumberdaya alamnya. Sebaliknya bagi daerah miskin kondisi tersebut dianggap merupakan “ancaman” bagi kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu penerapan undang-undang ini boleh jadi merupakan “petaka”, yang mungkin lebih “nyaman” jika dihindari. Belum lagi jika kawasannya rawan bencana. Lantas bagaimana otonomi daerah itu diterapkan dalam mengelola bencana?
Gempa Bengkulu yang lamban penanganannya merupakan tantangan tersendiri buat otonomi daerah. Karenanya ternyata di sisi ini ada “saling ketidak pedulian” antara pusat dan daerah. Di satu sisi daerah perlu bantuan mendesak, di sisi lain pemerintah pusat menyatakan tidak ada dana khusus untuk penanganan bencana. Depertemen “terkait” sudah dihapuskan, sementara departemen lain cenderung ragu-ragu untuk mengeluarkan dana non bugdeternya, mengingat banyak kasus pengeluaran dana dengan cara itu di utik-utik keabsahannya. Kondisi ini barangkali memicu kita untuk berfikir dengan lebih bijak perihal pengelolaan sumberdaya sekaligus pengelolaan bencana dalam pelaksanaan otonomi daerah.Manajemen bencana bertumpu pada masyarakatSelain bencana alam, dewasa ini bencana karena manusia juga mengalami peningkatan. Hal ini berkaitan erat dengan berkembangnya industri, yang kemudian mengakibatkan bahaya karena kesalahan dan kelalaian teknologi. Begitu banyak bencana karena ulah manusia lainnya, sehingga menyebabkan perusakan lingkungan dan ketidakseimbangan lingkungan, yang pada akhirnya menimbulkan bencana. Desertifikasi, perubahan iklim global, merupakan sederetan bencana yang disebabkan karena ulah manusia. Bencana, juga dapat pula terjadi karena kombinasi, yaitu muncul karena ulah manusia dan kondisi alam saling mendukung.
Bencana alam seringkali dianggap sebagai sesuatu yang harus terjadi. Gempabumi, letusan gunungapi, tanah longsor, gelombang pasang, kekeringan, banjir dan lainnya, adalah kondisi alam yang melekat pada bumi kita. Sampai sekarang, manusia belum mampu secara tuntas menghentikan munculnya bahaya itu. Bukan saja karena kekuatannya yang luar biasa, namun juga karena waktu terjadinya sulit ditentukan secara tepat. Beberapa kejadian bencana alam menunjukkan bahwa betapa besar ukuran suatu bencana alam itu, sehingga manusia tidak mempunyai makna terhadap besarnya bencana tersebut. Namun, dilain fihak, manusia mempunyai kemampuan untuk mengenali dan memahami bencana tersebut. Tindakan tersebut merupakan salah satu upaya untuk meredam kerugian yang ditimbulkan oleh bencana alam, atau sering disebut sebagai bagian dari manajemen bencana. Tindakan manajemen bencana merupakan bagian penting dan strategis bagi aksi kemanusiaan. Karena itulah akhirnya PBB menetapkan Dasawarsa Internasional Peredaman Bencana Alam, sampai berakhirnya masa itu tahun lalu. Keputusan PBB itu dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran seluruh umat manusia akan bencana alam, khususnya melalui pemahaman yang lebih baik mengenai bencana alam tersebut, serta upaya menekan bahaya melalui kemampuan teknologi dan manajemen. Pembangunan kemampuan penanganan bencana ditekankan pada peningkatan kemampuan masyarakat, khususnya masyarakat pada kawasan rawan bencana, agar secara dini menekan bahaya tersebut. Umumnya berpangkal pada tindakan penumbuhan kemampuan masyarakat dalam menangani dan menekan akibat bencana. Untuk mencapai kondisi tersebut, lazimnya diperlukan langkah-langkah : (1) pengenalan jenis bencana, (2) pemetaan daerah rawan bencana, (3) zonasi daerah bahaya dan prakiraan resiko, (4) pengenalan sosial budaya masyarakat daerah bahaya, (5) penyusunan prosedur dan tata cara penanganan bencana, (6) pemasyarakatan kesiagaan dan peningkatan kemampuan, (7) mitigasi fisik, (8) pengembangan teknologi bencana alam.Setelah otonomi, adalah kewajiban pemerintah daerah dan kita untuk membuat masyarakatnya yang rentan lebih berkapasitas. Tujuan akhirnya, membuat mereka mampu mengatasi semua ancaman agar tidak menjadi bencana. Kita tentu percaya, kapasitas masyarakat yang kuat akan menempatkan ancaman tetap sebagai ancaman; tidak sebagai bencana. Bukan sebaliknya, meninggalkan mereka, menisbikan keberadaan mereka, karena tidak sesuai dengan keinginan kita.
Manajemen bencana ini perlu dilakukan dengan mekanisme internal, yaitu mendudukkan masarakat sebagai subyek. Manajemen ini tidak menempatkan masyarakat pada posisi lemah, bodoh dan salah, nampaknya menjadi suatu kebutuhan. Tantangannya adalah bagaimana memulai melakukan pengalihan keterampilan penelitian dan perencanaan itu? Metoda pertisipatif merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendukung mekanisme internal. Asas yang melandasi mekanisme ini adalah “pemberdayaan”, yaitu memperhatikan kapasitas awal masyarakat dan kegiatan dibangun untuk masyarakat agar dapat mengembangkan kapasitasnya sendiri. Wujud nyata dari asas ini adalah perlunya lembaga-lembaga pemerintah, lembaga swasta dan lembaga swadaya masyarakat mendukung proses peningkatan kapasitas (sekaligus merupakan upaya mengurangi kerentanan) yang ada dengan sepenuh hati. Namun, setelah masyarakat mempunyai kapasitas yang cukup, biarkan masyarakat menentukan.
Mengenal “rumah” sendiri
Yang tidak boleh dilupakan adalah upaya mengenal “rumah” dan lingkungan kita sendiri. Pada kesempatan ini, akan penulis sampaikan secara garis besar beberapa hal mengenai jenis bencana alam yang potensial dan daerah-daerah di “rumah” kita, Jateng-DIY yang rawan terhadap bencana tersebut.
Gempa Bumi. Secara sederhana, didefinisikan sebagai sentakan alamiah yang terjadi di bumi, yang bersumber di dalam bumi dan merambat ke permukaan. Ada tiga kelompok pembagian gempa bumi alami yang lazim kita kenal. Pertama gempa tektonik, yaitu gempa yang berkaitan erat dengan pembentukan patahan besar, sebagai akibat langsung dari tumbukan antar lempeng litosfera pembentuk kulit bumi. Gempa ini merupakan gempa besar yang umumnya berkekuatan lebih dari 5 skala Richter. Kedua gempa vulkanik, yaitu gempa berkaitan dengan aktivitas gunung api. Gempa ini merupakan gempa mikro sampai menengah, yang berkekuatan kurang dari 4 skala Richter. Ketiga gempa terban yang muncul akibat longsoran / terban dan merupakan gempa kecil, sehingga getaran yang muncul tidak terasa.
Pemunculan pusat-pusat gempa tektonik dan pemunculan gunung api, merupakan sifat yang melekat dari karakteristik kepulauan Indonesia. Sebagai penyebabnya adalah tatanan tektonik Indonesia yang khas. Tatanan tektonik regional Indonesia sangat dipengaruhi oleh keberadaan lempeng-lempeng astenosfer yang berada di sekitar Indonesia. Lempeng Hindia Australia di sebelah selatan bergerak ke utara, Lempeng Eurasia di sebelah utara-barat bergerak ke selatan-timur, Lempeng Filipina di sebelah utara-timur bergerak ke barat, serta Lempeng Pasifik di sebelah timur bergerak barat. Masing-masing lempeng itu bergerak mendekat dengan kecepatan 8 cm/tahun sampai 12 cm/tahun, membentuk hubungan antar lempeng yang saling menunjam dan berpapasan. Kondisi ini yang memunculkan jajaran gunungapi sekaligus juga pusat-pusat gempa dan patahan-patahan sepanjang selatan pulau Sumatera, Jawa sampai Banda.
Gunungapi. Gunung api adalah suatu lubang bumi, yang dari lubang tersebut dapat dikeluarkan isi bumi berupa padatan panas, cairan panas dan gas panas. Beberapa tipe letusan gunungapi sudah dapat diramalkan pemunculannya, karenan umumnya memiliki ritme selang waktu letusan. Bahaya yang ditimbulkan oleh gunung api dikenal sebagai bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer merupakan bahaya yang berkaitan langsung dengan proses letusan. Muatan panas berupa padatan, cairan dan gas bersuhu tinggi (di atas 500 0C) akan menghanguskan semua saja yang disentuhnya. Guguran lava pijar dan awan panas yang dikeluarkan oleh G. Merapi merupakan contoh bahaya primer. Bahaya sekunder merupakan bahaya yang ditimbulkan secara tidak langsung. Misalnya, jika hujan turun, lahar meluncur mengubur yang dilewatinya.
Bencana gunungapi bukan barang baru. Bencana ini dapat terjadi setiap saat di banyak tempat di indonesia. Dari 128 gunung api yang ada, tercatat 70 pernah melakukan kegiatan, 26 diantaranya termasuk kategori gunung rajin sehingga diawasi secara khusus. Yang berada di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta antara lain G. Merapi. Untuk kawasan DI Yogyakarta dan Jawa Tengah, secara umum kawasan di seputar Gunung Slamet, Gunung Sundoro, dan Kompleks Dieng, merupakan kawasan rawan bencana. Khusus untuk Kompleks Dieng, bahaya yang siap muncul adalah karena gas beracun yang muncul dari kawah maupun retakan-retakan batuan.Gelombang Pasang. Umumnya gelombang pasang menerjang pantai landai. Asal-usul kejadiannya dapat dihubungkan dengan adanya gempa tektonik (selanjutnya disebut gempa) dan letusan gunungapi. Tsunami yang berhubungan dengan gempa dan letusan gunungapi merupakan bencana alam lain yang kedatangannya tidak dapat diramal. Gempa yang berpengaruh langsung menimbulkan gelombang pasang umumnya merupakan gempa dangkal, dengan kedalaman sumber kurang dari 50 km. Kawasan rawan gelombang pasang untuk Jateng dan DIY, terutama adalah kawasan landai pantai selatan Jawa, mulai Parangtritis sampai Cilacap. Di beberapa titik lokasi di kawasan ini mempunyai kepadatan penduduk sangat tinggi, misalnya pantai kawasan wisata Parangtritis dan pantai nelayan Cilacap. Menyimak kondisi ini, maka pembangunan yang memungkinkan berakumulasinya penduduk perlu didisain mengatisipasi ancaman ini ini. Bukan saja untuk pelabuhannya, tetapi juga untuk masyarakat di sekitarnya yang berakumulasi karena keberadaa pelabuhan itu.
Tanah Longsor. Tanah Longsor (gerakan tanah) merupakan gejala alam untuk mencapai kondisi keseimbangan. Seperti halnya banjir, nampaknya gerakan tanah merupakan bencana alam yang sedikit dapat diramalkan kedatangannya, karena berhubungan dengan besar curah hujan. Daerah rawan longsor, umumnya mempunyai sifat yang khas. Jenis batuan yang mudah desintregrasi, pola patahan batuan, pola perlapisan batuan, ketebalan tanah lapuk, kemiringan lereng curam, kandungan air tinggi dan getaran gempa merupakan beberapa sifat geologis yang mempengaruhi proses longsoran. Manusia dapat sebagai faktor pemacu proses longsoran, misalnya tanpa sengaja melakukan penambahan beban, penambahan kadar air, penambahan sudut lereng. Karena faktor kadar air merupakan hal yang cukup dominan, maka longsor sering terjadi dimusim hujan. Beberapa kawasan di Jawa tengah dan DI Yogyakarta yang potensi longsor antara lain Magelang utara, Boyolali utara, Purworejo, Temanggung utara, Cilacap, Wangon, Wonosobo, Wonogiri, Kulon Progo, dan Wonosari.
Banjir Bandang Banjir Pasang Surut dan Abrasi. Meningkatnya banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia, khususnya Pulau Jawa, sering dikaitkan dengan aktifitas pembabatan hutan di kawasan hulu dari sistim daerah aliran sungai (DAS). Banjir, sebenarnya merupakan bencana alam yang paling dapat diramalkan kedatangannya, karena berhubungan dengan besar curah hujan. Secara klasik, walaupun tidak tepat benar, yang dituduh sebagai biang keladi banjir adalah petani, peladang yang menebang hutan di bagian hulu DAS. Penebangan dan pengelolaan hutan yang terbatas, tidak begitu saja dapat mengganggu sistim pengaturan air maupun sistim kesimbangan air. Kecuali jika dilakukan secara besar-besaran pembudidayaan hutan menjadi ladang, lahan pertanian atau pemukiman. Apalagi jika disertai dengan pemadatan tanah dan erosi yang berat. Pemukiman dan pemadatan tanah tidak memberikan kesempatan air hujan untuk meresap ke tanah. Sebagian besar menjadi aliran air permukaan dengan pelumpuran. Apalagi didukung oleh sungai yang semakin dangkal dan menyempit, bantaran sungai yang penuh sesak dengan penghuni, serta penyumbatan saluran air di daerah hulu. Banjir umumnya terjadi di dataran, hilir dari suatu sistim DAS yang memiliki pola aliran rapat. Dataran yang menjadi langganan banjir umumnya memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Secara geologis, berupa lembah atau bentuk cekungan bumi lainnya dengan porositas rendah. Umumnya berupa dataran delta maupun aluvial. Selain beberapa kawasan pantai utara Jawa yang merupakan hulu DAS Solo, DAS Brantas, daerah sangat potensial menjadi kawasan banjir adalah Purworejo, Tegal, Pekalongan, Semarang, Brebes, Kebumen, Kutoarjo
Banjir pasang surut dan abrasi terjadi dengan lambat tapi pasti. Banjir pasang surut, yang kurang “dihiraukan” pemerintah daerah setempat, terjadi di Semarang dan Demak. Banjir pasang surut dan abrasi telah menghabiskan pantai Sayung sepanjang lebih dari 10 kilometer dengan lebar lebih dari tiga kilometer selama dua dasawarsa terakhir ini. Memang ini bukan murni bencana alam. Berbagai sebab menjadikan fenomena banjir dan abrasi di kawasan ini luar biasa. Permasalahnya dianggap pemerintah daerah yang kurang tepat mengelola kawasannya, baik pengambilan air tanah melebihi kemampuan pengisian alamiah, pembangunan tiang pancang dermaga, dan tentunya didukung masyarakat yang semena-mena mengubah hamparan mangrove menjadi tambak. Dan bencana macam ini tidak harus dibiarkan saja kan?
Amblesan dan Intrusi Air Laut. Bencana alam geologi yang kurang disadari dan dianggap enteng adalah penyusupan air laut dan amblesan. Walaupun bencana ini lambat laun pasti terjadi, alon-alon ning kelakon, nampaknya kurang mendapat tempat perhatian, dalam arti kurang ditanggapi secara serius. Amblesan terjadi karena air diambil melampaui batas kemampuan pada batuan endapan jenuh air, sehingga terjadi gangguan tata air tanah. Jika proses penyedotan di luar batas kemampuan ini dilakukan pada daerah pantai landai, maka akan terjadi pengisian ruang kosong pada tanah maupun batuan oleh air laut. Proses ini dikenal sebahai penyusupan (intrusi) air laut. Proses penyusupan air laut ini telah melanda kawasan Jakarta, Semarang dan Surabaya. Akibat penyusupan ini, air tanah berubah payau, bahkan menjadi asin. Dari data yang ada, penyusupan air laut di tiga kota tersebut berkembang cepat dari waktu ke waktu. Karena kebutuhan meningkat dan pengambilan air tanah tak terkontrol bukan tidak mungkin maka masalah penyusupan air laut juga akan terjadi di beberapa kota lain di Jawa Tengah misalnya Cilacap, Tegal.
Kekeringan. Bencana kekeringan mempunyai karakteristik tersendiri. Karena sebagian besar derah Jateng-DIY merupakan dataran gunungapi yang merupakan reservoar air yang baik, maka kekeringan justru banyak dijumpai di daerah kars. Kekeringan pada kawasan kars secara umum mempunyai ciri (1) kejadiannya dapat diduga dengan baik karena bersifat rutin; (2) berlangsung dalam waktu panjang, sepanjang musim kemarau; (3) terjadi pada kawasan luas, yang tempat kedudukannya dapat diketahui dengan baik; (4) mengakibatkan penurunan produktifitas sosial, pertanian, dan bahkan menghilangkan fungsi lahan untuk sementara waktu. Kawasan kars yang rawan kekeringan antara lain seputar Pegunungan Selatan, Wonosari, Wonogiri, Kulon Progo, Cilacap.
Penutup
Semua bencana alam, awalnya adalah gejala alam biasa. Peristiwa itu dikatakan sebagai mencana karena menabrak kepentingan manusia. Untung tak dapat diduga, malang tak dapat ditolak, demikianlah kata pepatah. Celakanya, kebanyakan bencana alam memang sulit diramalkan. Oleh karenanya, masyarakat perlu memahami tingkat potensi bencana, bentuk bencana dan besar kekuatan bencana yang mungkin menimpa.
Untuk mewaspadai bencana alam, dapat dimulai dengan pemberian informasi potensi bencana alam yang jujur, cepat, tepat, akurat. Diharapkan dengan demikian dapat dilakukan pemilihan dan penyiapan langkah yang tepat, yaitu : mengatasi bencana, mensiasati bencana, atau menghindari bencana tersebut. Pemilihan dan penyiapan langkah tersebut dapat didekatkan ke berbagai cara, misalnya ke pola keruangan kawasan pemukiman, pola konstruksi, pola transportasi, pola informasi, dan lainnya. Kalaupun ternyata masih tertimpa bencana juga, minimal secara mental lebih siap. Karena semua bencana itu, semula memang merupakan gejala alam.

* Jurusan Teknik Geologi & Koordinator Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta

Published in: on 22 January 2010 at 4:50 pm  Leave a Comment  
Tags:

The URI to TrackBack this entry is: https://one2land.wordpress.com/2010/01/22/potensi-bencana-alam-di-jateng-diytantangan-untuk-pelaksanaan-otonomi-daerah/trackback/

RSS feed for comments on this post.

Leave a comment